SUDAH bukan cerita
baru lagi jika menyinggung soal antrean kendaraan yang cukup panjang di SPBU di
utara Kaltim. Meski sama-sama mengantre, namun berbeda kondisinya jika antrean
itu terjadi di Tarakan.
Di Tarakan “The New Singapore”, dalam seminggu, sepertinya tak ada
berita paling “sedap” dipandang mata jika bukan soal penangkapan oknum pengetap
atau pelaku pembelian premium secara berulang-ulang untuk dijual secara eceran
yang harganya tentu lebih mahal dari harga seharusnya. Begitu juga hal lainnya.
Sepertinya tak ada yang paling senang dibicarakan selain cerita soal petugas Satpol
PP sampai harus beradu jotos dengan oknum pengetap demi membela “kebenaran”
yang ditugaskan atasan mereka.
Selain antre, SPBU di Tarakan cepat sekali tutup. Pernah, belum lama
ini, 2 SPBU sudah tutup tengah hari. Entah sudah janjian menutup kran mereka atau
memang kuotanya sudah habis, entahlah. Namun nyatanya, yang paling sering, SPBU
tutup sekitar pukul 16.00 Wita!
Yang paling menyedihkan, antrean itu terjadi sebelum SPBU buka. Jika
Anda jalan-jalan Subuh sekaligus olahraga bersama keluarga kecil Anda, silakan
mampir juga ke SPBU di Tarakan. Lihatlah kerumunan kendaraan. Roda empat dan
roda 2 sudah siaga di sana. Dalam gelap itu, antrean sudah terjadi. Mereka
berbaris rapi tepat di depan pintu masuk SPBU. Mobil-mobil berjajar manis
“rebutan” ingin menjadi yang pertama mendapatkan premium bersubsidi.
Nah, jika sudah tahu kejadian Subuh itu, penilaian bisa beragam. Namun
penilaian yang paling menarik disimak adalah antrean itu terjadi karena adanya
antrean yang lebih awal.
Saat SPBU buka, sebelum pukul 07.00 Wita, antrean panjang kendaraan itu
akan berlomba-lomba menjadi yang pertama diisi. Antrean itu terjadi saat
petugas dari kepolisian dan Satpol PP masih mandi, masih sarapan hingga sedang
siap-siap pakai seragam kebanggaan mereka.
Setelah itu, semakin pagi atau hingga jam 8, datanglah warga-warga
lainnya yang memang sangat membutuhkan premium, mereka pun ikut antre. Saat itu
pula petugas dari Satpol PP mulai bekerja dan si oknum pengetap tadi mulai
berkurang, tapi antrean makin panjang karena antrean yang lebih awal tadi.
Mungkin, oknum-oknum pengetap tahu kalau aparat mulai bekerja jam 8,
makanya antre sejak Subuh adalah alternatif paling aman. Tapi ada oknum
pengetap yang terbilang nekat. Saat petugas Satpol PP atau polisi berjaga-jaga,
mereka tetap antre, bahkan ada yang bergantian dengan istri, adik, saudara,
tetangga dan lainnya agar tak ketahuan membeli 2 kali atau sampai kesekian
kalinya.
Kalau sudah begini, beragam gerutu pun bermunculan. Ada yang
mengeluhkan antrean panjang adalah ulah oknum pengetap. Tak sedikit pula yang
meminta agar kuota ditambah sehingga bisa memenuhi kebutuhan mereka. Dan yang
paling menyedihkan adalah keluhan warga soal banyak mobil orang kaya “makan”
premium yang sebenarnya dikhususkan untuk orang miskin. Sampai di situ sudah ada
yang siap dikerjakan pemerintah? Saya rasa belum apa-apa keluhan itu.
Gara-gara premium pula, Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan seperti tak
mau dipermainkan gara-gara ulah oknum pengetap. Satpol PP pun diberikan
pekerjaan baru, yakni menjaga SPBU sampai SPBU itu menghentikan aktivitasnya.
Polisi, juga ikut berjaga meskipun hal itu kadang-kadang tidak dilakukan. Hakim
di Pengadilan Negeri (PN) Tarakan pun tak bosan-bosannya memberikan vonis
bersalah pada pelaku pengetap yang ditangkap Satpol PP meskipun vonis itu belum
banyak memberikan jera.
Sampai tahap itu, apakah pemerintah sudah siap dengan aksi tegasnya?
Saya kira tindakan Pemkot pasti sama dengan yang sebelum-sebelumnya.
Setelah berdiskusi dengan pengetap, seorang akademisi, politis dan
petugas, baik Satpol PP, kepolisian hingga petugas yang berjaga-jaga di SPBU,
kesimpulan ternyata bukan jatuh penjual premium botolan atau penghapusan
penjual eceran. Justru, ada yang menyebut sama dengan warga, yakni menambah
kuota. Sama sekali tak ada menyinggung soal premium yang dikemas dalam botolan.
Namun persoalannya, apakah ada yang menjamin kuota itu akan memperbaiki
masalah. Jika kuota ditambah, bukan tidak mungkin kuota itu akan menjadi lahan
baru, tidak hanya oknum pengetap, tapi juga oknum tak bertanggung jawab
lainnya. Karena semua tahu, premium adalah bisnis paling “licin” dan “panas”
diantara semua bisnis.
Ada juga yang menyebut, “lebih baik pemkot itu memberikan ruang bagi
pengusaha untuk membuka 1 SPBU lagi, karena sudah saatnya SPBU baru itu dibuka,
agar konsentrasi kendaraan bisa terpecah”. Tapi sekali lagi, bisnis premium
adalah bisnis paling menggiurkan yang pernah ada di dunia ini. Untuk pendirian
sebuah SPBU, artinya penambahan kuota.
Jika kuota ditambah, berarti disalurkan pada SPBU yang baru. Tapi
apakah ada yang bisa menjamin, SPBU bertambah, fokus kendaraan terpecah, lalu
oknum “pemain” akan berhenti melakukan aksinya? Bisa saja SPBU itu adalah imbas
dari politisasi premium. Konsentrasi kendaraan bisa saja dipecah ke beberapa
tempat, tapi pemain premium lebih lihai memecah konsentrasi pemerintah.
Masukan lain, antrean terjadi karena peningkatan kendaraan di kota
berpenduduk 239.787 jiwa ini. Jika menilik Edaran Walikota Tarakan, suatu
pekerjaan mulia telah dilakukan. Paling tidak sudah mengurangi resiko kehabisan
premium atau mengurangi antrean. Hal ini sangat sesuai dengan catatan Samsat.
Dalam catatan itu, diketahui pertumbuhan kendaraan di Tarakan,
khususnya roda 2 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Oleh Samsat
Tarakan, tercatat 68.563 unit kendaraan roda 2 di Tarakan hingga Februari lalu.
Sedangkan roda 4 sebanyak 78.018 unit.
Jumlah kendaraan ini juga bikin mumet. Jika dipilah-pilah, pemerintah
tampaknya sangat sulit menentukan, mana kendaraan orang kaya yang “sebaiknya”
menggunakan pertamax dan mana yang sebenarnya berhak menerima subsidi BBM untuk
orang miskin. Apalagi, orang kaya mana sih yang mau rugi. Mereka rela disebut
orang miskin demi premium atau solar murah.
Dan sulit juga memilah, mana roda empat menggunakan solar dan mana yang
tidak. Dan setiap 1 motor Rp 15 ribu atau sekitar 3 liter adalah hal wajar. Dan
jika mobil dibatasi Rp 100 ribu adalah bukan hal mustahil untuk saling berbagi
premium.
Melainkan, sangat membual jika bensin yang dibeli 3 liter langsung
habis hari itu juga dengan kondisi jalan yang jarak tempuhnya relatif pendek,
kecuali ke Juata Laut atau Tanjung Pasir. Intinya, Edaran Walikota soal
pembatasan ini sesuai dengan semangat bagi-bagi premium bersubsidi. Tapi
sayang, edaran itu bernasib sangat buruk dan tragis.
Nah sampailah saya pada diskusi kasus lain, yakni sebuah kasus yang
pernah disentuh petugas tapi tak maksimal. Yakni petugas SPBU. Ada beberapa
orang sudah ditangkap dan diadili. Tapi tetap saja membandel.
Ketika petugas dari Satpol PP atau petugas lainnya sibuk dengan
pengetap, nah petugas SPBU dengan sangat mudah bermain dengan selang pengisian
premium. Kita sibuk menyalahkan oknum pengetap. Tapi kita lupa, oknum pengetap
atau oknum orang kaya maupun industri tak akan mendapatkan premium yang
hasilnya diselewengkan jika tidak ada campur tangan petugas SPBU. Kira-kira diistilahkan,
tak ada asap kalau tak ada api.
Yang terpantau, petugas SPBU ini dengan santai mengisi hingga puluhan
ribu. Bahkan, saya sempat mereka, saat petugas Satpol PP tidak berjaga-jaga
dispenser, petugas SPBU tersebut justru senyam-senyum mengisi full tangki besar
kendaraan seorang pengendara.
Edaran Walikota Tarakan tampaknya tak dihormati petugas di SPBU. Inilah
yang saya sebut bernasib buruk dan tragis. Entah tindakan petugas ini atas
titah si pemilik SPBU, belum bisa diterka. Siapa juga yang mau rugi hanya
karena Edaran Walikota, bisa jadi demikian. Tapi, bukan masalah si pemilik atau
bukan, melainkan kenapa hal ini tidak pernah terbesit untuk segera dievaluasi.
Ada yang mengira, petugas SPBU adalah rekan-rekan oknum pengetap yang
segaja “dititip” di SPBU itu. Tapi bisa jadi bukan. Yang terjadi adalah,
petugas SPBU juga bermain dalam antrean ini. Bayangkan saja, saat pertama kali
buka, saat itu petugas dari Satpol PP belum bekerja, oknum pengetap berlomba-lomba
diisikan Rp 70 ribu atau sekitar 15 liter.
Saya mengambil satu contoh di SPBU Gunung Lingkas, ada 4 dispenser yang
bisa melayani pengisian. Hitungannya setiap mengisi, Rp 70 ribu per menit. Kami
ambil batasan contoh satu jam, hingga pukul 08.00 Wita. Jika satu jam, berarti
60 motor sekali mengisi. Ada 4 dispenser, ditotal 240 motor (termasuk yang 2
kali) dan hasilnya 3.600 liter atau 3 kiloliter lebih premium habis dalam 1
jam. Belum terhitung mobil nakal yang daya angkutnya lebih besar.
Jika rutin pengetap itu melakukannya, bukan tidak mungkin 3 kiloliter
perjam, ditambah mobil-mobil nakal, lalu dikurangi stok yang harus disisakan
SPBU untuk mengantisipasi keterlambatan pengisian premium dari Depo Pertamina
keesokan harinya, bukan mustahil SPBU itu tutup jam 16.00 Wita atau lebih cepat
dari sebelumnya.
Hal itu dalam kondisi normal untuk satu SPBU. Di SPBU Mulawarman lebih
banyak dispenser, kepastian habisnya juga bisa lebih cepat dengan bantuan
petugas SPBU. Dimana petugas Satpol PP, ya sudah pasti menjalankan tugasnya
dengan baik, yakni mencatat plat kendaraan. Suatu pekerjaan yang cukup
memprihatinkan meskipun hal itu sangat perlu dilakukan.
Cobalah ke SPBU, lihat ulah petugas berseragam merah putih itu. Memang,
tak semua petugas SPBU yang nakal, tapi kebanyakan tak pernah takut, meskipun Edaran
Walikota ada di sampingnya bekerja! Ditanyai mengapa isi melebihi Rp 15 ribu,
alasannya mereka takut dipukuli dan diganggu oleh si oknum pengetap. Lalu di
mana letak ketegasan polisi yang katanya mengayomi? Bandingkan dengan petugas
yang ada di kota-kota besar yang selalu mendengungkan “Selamat pagi, kita mulai
dari nol ya”. Pernahkah kita mendengarnya di Tarakan? Saya kira kita belum
tepat menilainya.
Tapi jika dilihat dari sudut berbeda, si petugas tadi sebenarnya bukan
takut, melainkan mencoba mencari “ceperan” dari tugasnya. Tidak mungkin petugas
SPBU takut sama oknum pengetap wanita yang membawa anak kecilnya, lalu mengisi
sampai Rp 70 ribu! Dan mobil sampai Rp 200 ribu!
Dan akhirnya diskusi kecil kami semakin mengerucut ke petugas SPBU dan
pemiliknya. Bahkan dalam diskusi kecil itu, ada yang mengatakan, pemerintah kita
dan aparat sebenarnya kurang kompak.
Andai saja kompak mengatasi antrean ini, tentu akan sangat mudah
mengatasinya. Contohnya, awasi si petugas SPBU. Kalau nakal langsung tangkap?
Oh tidak. Puncaknya ada di pemilik SPBU. Bos SPBU itulah yang harus bertanggung
jawab. Tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menangkap.
Menangkap adalah bagian kedua setelah kompak dengan si pemilik SPBU.
Kalau sudah mengamankan bosnya, yakinlah, anak buahnya pasti mengikut. Kecuali
bosnya tidak mau tahu soal kondusivitas daerah ini.
Nah, jika petugas SPBU mampu menjalankan tugasnya dengan baik, mengisi
premium sesuai Edaran Walikota, bukan hal mustahak antrean panjang akan
berkurang. Karena bukan tidak mungkin kasus penjualan premium ke luar daerah
berawal dari permainan di SPBU.
Selanjutnya, buat petugas SPBU aman dalam tugas kepolisian. Satpol PP
tetap pada tugasnya, larang pengisian berulang-ulang. Tindak yang nakal. Jangan
isi berulang-ulang.
Karena yang patut diingat, Tarakan adalah kepulauan yang dikelilingi
daerah-daerah yang kebutuhan BBM-nya “katanya” luar biasa banyak. Ditambah
lagi, imej Tarakan adalah penghasil premium terbesar meskipun penjatahan itu
bukan wewenang Pertamina di Tarakan. Kejadian inilah yang memberikan kesempatan
penjualan ke luar daerah sangat marak dilakukan.
Modus lama lainnya yang paling dikeluhkan, adanya industri besar yang
membeli premium dan solar bersubsidi. Adapula modus, oknum pengetap menjual
hasil pembelian premium bersubsidi berulang-ulang kepada pengepul lalu dijual
kepada industri. Sangat kompleks permasalahan ini, sehingga dibutuhkan
sinergitas petugas.
Tugas siapa jika di laut? Siapa punya kerjaan kalau di darat? Mana
petugas yang bertugas di SPBU, dan lainnya. Kompak adalah salah satu jalan
terbaik atasi antrean. Disamping, pemerintah tidak pelit anggaran untuk
memberikan “makan siang” pada si petugas.
Kesan selama ini, petugas kurang terlihat kompak. Penilaian ini didasari
saat petugas melakukan beberapa pembiaran yang dianggap sepele. Contohnya,
kartu kendali. Instansi terkait kurang maksimal melaksanakan perintah Walikota
Tarakan untuk melayani penyaluran BBM dengan kartu kendali. Padahal, Walikota
Tarakan sudah beberapa kali “geram” dengan masalah kartu kendali ini.
Tak hanya kompak. Kompak tanpa tegas, tak akan menyelesaikan masalah.
Pemikir-pemikir di Tarakan tak usah keseringan berbual di warung kopi soal
krisis minyak mentah yang melanda dunia. Atau hanya sibuk mengurusi kebutuhan
keluarga sendiri. Kompak dan bertindak tegaslah. Misal, ada temuan PT Pertamina
mainkan BBM bersubsidi atau ada pejabat yang tega menyalahgunakan BBM warga
miskin, aparat yang tegas pasti tahu tugasnya.
Jika semua kompak dan tegas dimulai dari SPBU, bukan antrean panjang
saja yang teratur. Oknum-oknum nakal yang mempermainkan premium akan berkurang.
Begitu juga dengan yang tidak disinggung dalam diskusi kami. Pelan-pelan mereka
akan tertib karena petugas SPBU hanya memberinya 3 liter untuk motor dan Rp 100
ribu untuk roda empat. Satpol PP tetap pada pekerjaannya, menindak yang
berulang-ulang. Polisi menjaga kenyamanan kerja si petugas SPBU, penjual ke
luar daerah dicegat oleh TNI AL dan polisi menindak yang nakal yang bikin jera
dan lainnya.
Selanjutnya, Pemkot Tarakan selaku pengatur tinggal memikirkan
bagaimana kebijakan selanjutnya agar tidak ada lagi penyimpangan premium orang
miskin ini, segera revisi perda yang isinya bertentangan dengan yang diatasnya.
Buat warga tenang dengan lapangan pekerjaan selain harus membeli premium
berulang-ulang untuk dijual lagi. Dan saya rasa, Pemkot Tarakan lebih hebat
memikirkan langkah selanjutnya yang bisa membuat warga tenang dalam keteraturan.
Bisa juga alihkan perhatian warga menuju kendaraan berenergi listrik
sebagai pemikiran jangka panjang yang bisa diperpendek jangka waktunya. Dan jika di Tarakan sudah ada energi berbahan
gas, kenapa tidak segera dikembangkan dan beberapa alternatif lainnya.
Setelah SPBU kondusif, jangan sekalipun sebut Tarakan sedang krisis BBM,
melainkan hanya dilanda penyakit akut, yakni krisis kekompakan dan ketegasan.
Salam
PENULIS ARTIKEL :
Salah satu wartawan Kota Tarakan, Kalimantan Timur.
.......... BLOG ANCI 9381 ............
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar