BROWSING MELALUI HANDPHONE (MOBILE VERSION) KLIK DIBAWAH INI :

Senin, 15 Oktober 2012

Astagfirullah, Benarkan Tarakan Krisis BBM ???




SUDAH bukan cerita baru lagi jika menyinggung soal antrean kendaraan yang cukup panjang di SPBU di utara Kaltim. Meski sama-sama mengantre, namun berbeda kondisinya jika antrean itu terjadi di Tarakan.

Di Tarakan “The New Singapore”, dalam seminggu, sepertinya tak ada berita paling “sedap” dipandang mata jika bukan soal penangkapan oknum pengetap atau pelaku pembelian premium secara berulang-ulang untuk dijual secara eceran yang harganya tentu lebih mahal dari harga seharusnya. Begitu juga hal lainnya. Sepertinya tak ada yang paling senang dibicarakan selain cerita soal petugas Satpol PP sampai harus beradu jotos dengan oknum pengetap demi membela “kebenaran” yang ditugaskan atasan mereka.

Selain antre, SPBU di Tarakan cepat sekali tutup. Pernah, belum lama ini, 2 SPBU sudah tutup tengah hari. Entah sudah janjian menutup kran mereka atau memang kuotanya sudah habis, entahlah. Namun nyatanya, yang paling sering, SPBU tutup sekitar pukul 16.00 Wita!

Yang paling menyedihkan, antrean itu terjadi sebelum SPBU buka. Jika Anda jalan-jalan Subuh sekaligus olahraga bersama keluarga kecil Anda, silakan mampir juga ke SPBU di Tarakan. Lihatlah kerumunan kendaraan. Roda empat dan roda 2 sudah siaga di sana. Dalam gelap itu, antrean sudah terjadi. Mereka berbaris rapi tepat di depan pintu masuk SPBU. Mobil-mobil berjajar manis “rebutan” ingin menjadi yang pertama mendapatkan premium bersubsidi.

Nah, jika sudah tahu kejadian Subuh itu, penilaian bisa beragam. Namun penilaian yang paling menarik disimak adalah antrean itu terjadi karena adanya antrean yang lebih awal.

Saat SPBU buka, sebelum pukul 07.00 Wita, antrean panjang kendaraan itu akan berlomba-lomba menjadi yang pertama diisi. Antrean itu terjadi saat petugas dari kepolisian dan Satpol PP masih mandi, masih sarapan hingga sedang siap-siap pakai seragam kebanggaan mereka.

Setelah itu, semakin pagi atau hingga jam 8, datanglah warga-warga lainnya yang memang sangat membutuhkan premium, mereka pun ikut antre. Saat itu pula petugas dari Satpol PP mulai bekerja dan si oknum pengetap tadi mulai berkurang, tapi antrean makin panjang karena antrean yang lebih awal tadi.

Mungkin, oknum-oknum pengetap tahu kalau aparat mulai bekerja jam 8, makanya antre sejak Subuh adalah alternatif paling aman. Tapi ada oknum pengetap yang terbilang nekat. Saat petugas Satpol PP atau polisi berjaga-jaga, mereka tetap antre, bahkan ada yang bergantian dengan istri, adik, saudara, tetangga dan lainnya agar tak ketahuan membeli 2 kali atau sampai kesekian kalinya.

Kalau sudah begini, beragam gerutu pun bermunculan. Ada yang mengeluhkan antrean panjang adalah ulah oknum pengetap. Tak sedikit pula yang meminta agar kuota ditambah sehingga bisa memenuhi kebutuhan mereka. Dan yang paling menyedihkan adalah keluhan warga soal banyak mobil orang kaya “makan” premium yang sebenarnya dikhususkan untuk orang miskin. Sampai di situ sudah ada yang siap dikerjakan pemerintah? Saya rasa belum apa-apa keluhan itu.

Gara-gara premium pula, Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan seperti tak mau dipermainkan gara-gara ulah oknum pengetap. Satpol PP pun diberikan pekerjaan baru, yakni menjaga SPBU sampai SPBU itu menghentikan aktivitasnya. Polisi, juga ikut berjaga meskipun hal itu kadang-kadang tidak dilakukan. Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tarakan pun tak bosan-bosannya memberikan vonis bersalah pada pelaku pengetap yang ditangkap Satpol PP meskipun vonis itu belum banyak memberikan jera.

Sampai tahap itu, apakah pemerintah sudah siap dengan aksi tegasnya? Saya kira tindakan Pemkot pasti sama dengan yang sebelum-sebelumnya.

Setelah berdiskusi dengan pengetap, seorang akademisi, politis dan petugas, baik Satpol PP, kepolisian hingga petugas yang berjaga-jaga di SPBU, kesimpulan ternyata bukan jatuh penjual premium botolan atau penghapusan penjual eceran. Justru, ada yang menyebut sama dengan warga, yakni menambah kuota. Sama sekali tak ada menyinggung soal premium yang dikemas dalam botolan.

Namun persoalannya, apakah ada yang menjamin kuota itu akan memperbaiki masalah. Jika kuota ditambah, bukan tidak mungkin kuota itu akan menjadi lahan baru, tidak hanya oknum pengetap, tapi juga oknum tak bertanggung jawab lainnya. Karena semua tahu, premium adalah bisnis paling “licin” dan “panas” diantara semua bisnis.

Ada juga yang menyebut, “lebih baik pemkot itu memberikan ruang bagi pengusaha untuk membuka 1 SPBU lagi, karena sudah saatnya SPBU baru itu dibuka, agar konsentrasi kendaraan bisa terpecah”. Tapi sekali lagi, bisnis premium adalah bisnis paling menggiurkan yang pernah ada di dunia ini. Untuk pendirian sebuah SPBU, artinya penambahan kuota.

Jika kuota ditambah, berarti disalurkan pada SPBU yang baru. Tapi apakah ada yang bisa menjamin, SPBU bertambah, fokus kendaraan terpecah, lalu oknum “pemain” akan berhenti melakukan aksinya? Bisa saja SPBU itu adalah imbas dari politisasi premium. Konsentrasi kendaraan bisa saja dipecah ke beberapa tempat, tapi pemain premium lebih lihai memecah konsentrasi pemerintah.

Masukan lain, antrean terjadi karena peningkatan kendaraan di kota berpenduduk 239.787 jiwa ini. Jika menilik Edaran Walikota Tarakan, suatu pekerjaan mulia telah dilakukan. Paling tidak sudah mengurangi resiko kehabisan premium atau mengurangi antrean. Hal ini sangat sesuai dengan catatan Samsat.

Dalam catatan itu, diketahui pertumbuhan kendaraan di Tarakan, khususnya roda 2 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Oleh Samsat Tarakan, tercatat 68.563 unit kendaraan roda 2 di Tarakan hingga Februari lalu. Sedangkan roda 4 sebanyak 78.018 unit.

Jumlah kendaraan ini juga bikin mumet. Jika dipilah-pilah, pemerintah tampaknya sangat sulit menentukan, mana kendaraan orang kaya yang “sebaiknya” menggunakan pertamax dan mana yang sebenarnya berhak menerima subsidi BBM untuk orang miskin. Apalagi, orang kaya mana sih yang mau rugi. Mereka rela disebut orang miskin demi premium atau solar murah.

Dan sulit juga memilah, mana roda empat menggunakan solar dan mana yang tidak. Dan setiap 1 motor Rp 15 ribu atau sekitar 3 liter adalah hal wajar. Dan jika mobil dibatasi Rp 100 ribu adalah bukan hal mustahil untuk saling berbagi premium.

Melainkan, sangat membual jika bensin yang dibeli 3 liter langsung habis hari itu juga dengan kondisi jalan yang jarak tempuhnya relatif pendek, kecuali ke Juata Laut atau Tanjung Pasir. Intinya, Edaran Walikota soal pembatasan ini sesuai dengan semangat bagi-bagi premium bersubsidi. Tapi sayang, edaran itu bernasib sangat buruk dan tragis.

Nah sampailah saya pada diskusi kasus lain, yakni sebuah kasus yang pernah disentuh petugas tapi tak maksimal. Yakni petugas SPBU. Ada beberapa orang sudah ditangkap dan diadili. Tapi tetap saja membandel.

Ketika petugas dari Satpol PP atau petugas lainnya sibuk dengan pengetap, nah petugas SPBU dengan sangat mudah bermain dengan selang pengisian premium. Kita sibuk menyalahkan oknum pengetap. Tapi kita lupa, oknum pengetap atau oknum orang kaya maupun industri tak akan mendapatkan premium yang hasilnya diselewengkan jika tidak ada campur tangan petugas SPBU. Kira-kira diistilahkan, tak ada asap kalau tak ada api.

Yang terpantau, petugas SPBU ini dengan santai mengisi hingga puluhan ribu. Bahkan, saya sempat mereka, saat petugas Satpol PP tidak berjaga-jaga dispenser, petugas SPBU tersebut justru senyam-senyum mengisi full tangki besar kendaraan seorang pengendara.

Edaran Walikota Tarakan tampaknya tak dihormati petugas di SPBU. Inilah yang saya sebut bernasib buruk dan tragis. Entah tindakan petugas ini atas titah si pemilik SPBU, belum bisa diterka. Siapa juga yang mau rugi hanya karena Edaran Walikota, bisa jadi demikian. Tapi, bukan masalah si pemilik atau bukan, melainkan kenapa hal ini tidak pernah terbesit untuk segera dievaluasi.

Ada yang mengira, petugas SPBU adalah rekan-rekan oknum pengetap yang segaja “dititip” di SPBU itu. Tapi bisa jadi bukan. Yang terjadi adalah, petugas SPBU juga bermain dalam antrean ini. Bayangkan saja, saat pertama kali buka, saat itu petugas dari Satpol PP belum bekerja, oknum pengetap berlomba-lomba diisikan Rp 70 ribu atau sekitar 15 liter.

Saya mengambil satu contoh di SPBU Gunung Lingkas, ada 4 dispenser yang bisa melayani pengisian. Hitungannya setiap mengisi, Rp 70 ribu per menit. Kami ambil batasan contoh satu jam, hingga pukul 08.00 Wita. Jika satu jam, berarti 60 motor sekali mengisi. Ada 4 dispenser, ditotal 240 motor (termasuk yang 2 kali) dan hasilnya 3.600 liter atau 3 kiloliter lebih premium habis dalam 1 jam. Belum terhitung mobil nakal yang daya angkutnya lebih besar.

Jika rutin pengetap itu melakukannya, bukan tidak mungkin 3 kiloliter perjam, ditambah mobil-mobil nakal, lalu dikurangi stok yang harus disisakan SPBU untuk mengantisipasi keterlambatan pengisian premium dari Depo Pertamina keesokan harinya, bukan mustahil SPBU itu tutup jam 16.00 Wita atau lebih cepat dari sebelumnya.

Hal itu dalam kondisi normal untuk satu SPBU. Di SPBU Mulawarman lebih banyak dispenser, kepastian habisnya juga bisa lebih cepat dengan bantuan petugas SPBU. Dimana petugas Satpol PP, ya sudah pasti menjalankan tugasnya dengan baik, yakni mencatat plat kendaraan. Suatu pekerjaan yang cukup memprihatinkan meskipun hal itu sangat perlu dilakukan.

Cobalah ke SPBU, lihat ulah petugas berseragam merah putih itu. Memang, tak semua petugas SPBU yang nakal, tapi kebanyakan tak pernah takut, meskipun Edaran Walikota ada di sampingnya bekerja! Ditanyai mengapa isi melebihi Rp 15 ribu, alasannya mereka takut dipukuli dan diganggu oleh si oknum pengetap. Lalu di mana letak ketegasan polisi yang katanya mengayomi? Bandingkan dengan petugas yang ada di kota-kota besar yang selalu mendengungkan “Selamat pagi, kita mulai dari nol ya”. Pernahkah kita mendengarnya di Tarakan? Saya kira kita belum tepat menilainya.

Tapi jika dilihat dari sudut berbeda, si petugas tadi sebenarnya bukan takut, melainkan mencoba mencari “ceperan” dari tugasnya. Tidak mungkin petugas SPBU takut sama oknum pengetap wanita yang membawa anak kecilnya, lalu mengisi sampai Rp 70 ribu! Dan mobil sampai Rp 200 ribu!

Dan akhirnya diskusi kecil kami semakin mengerucut ke petugas SPBU dan pemiliknya. Bahkan dalam diskusi kecil itu, ada yang mengatakan, pemerintah kita dan aparat sebenarnya kurang kompak.

Andai saja kompak mengatasi antrean ini, tentu akan sangat mudah mengatasinya. Contohnya, awasi si petugas SPBU. Kalau nakal langsung tangkap? Oh tidak. Puncaknya ada di pemilik SPBU. Bos SPBU itulah yang harus bertanggung jawab. Tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menangkap.

Menangkap adalah bagian kedua setelah kompak dengan si pemilik SPBU. Kalau sudah mengamankan bosnya, yakinlah, anak buahnya pasti mengikut. Kecuali bosnya tidak mau tahu soal kondusivitas daerah ini.

Nah, jika petugas SPBU mampu menjalankan tugasnya dengan baik, mengisi premium sesuai Edaran Walikota, bukan hal mustahak antrean panjang akan berkurang. Karena bukan tidak mungkin kasus penjualan premium ke luar daerah berawal dari permainan di SPBU.

Selanjutnya, buat petugas SPBU aman dalam tugas kepolisian. Satpol PP tetap pada tugasnya, larang pengisian berulang-ulang. Tindak yang nakal. Jangan isi berulang-ulang.

Karena yang patut diingat, Tarakan adalah kepulauan yang dikelilingi daerah-daerah yang kebutuhan BBM-nya “katanya” luar biasa banyak. Ditambah lagi, imej Tarakan adalah penghasil premium terbesar meskipun penjatahan itu bukan wewenang Pertamina di Tarakan. Kejadian inilah yang memberikan kesempatan penjualan ke luar daerah sangat marak dilakukan.

Modus lama lainnya yang paling dikeluhkan, adanya industri besar yang membeli premium dan solar bersubsidi. Adapula modus, oknum pengetap menjual hasil pembelian premium bersubsidi berulang-ulang kepada pengepul lalu dijual kepada industri. Sangat kompleks permasalahan ini, sehingga dibutuhkan sinergitas petugas.

Tugas siapa jika di laut? Siapa punya kerjaan kalau di darat? Mana petugas yang bertugas di SPBU, dan lainnya. Kompak adalah salah satu jalan terbaik atasi antrean. Disamping, pemerintah tidak pelit anggaran untuk memberikan “makan siang” pada si petugas.

Kesan selama ini, petugas kurang terlihat kompak. Penilaian ini didasari saat petugas melakukan beberapa pembiaran yang dianggap sepele. Contohnya, kartu kendali. Instansi terkait kurang maksimal melaksanakan perintah Walikota Tarakan untuk melayani penyaluran BBM dengan kartu kendali. Padahal, Walikota Tarakan sudah beberapa kali “geram” dengan masalah kartu kendali ini.

Tak hanya kompak. Kompak tanpa tegas, tak akan menyelesaikan masalah. Pemikir-pemikir di Tarakan tak usah keseringan berbual di warung kopi soal krisis minyak mentah yang melanda dunia. Atau hanya sibuk mengurusi kebutuhan keluarga sendiri. Kompak dan bertindak tegaslah. Misal, ada temuan PT Pertamina mainkan BBM bersubsidi atau ada pejabat yang tega menyalahgunakan BBM warga miskin, aparat yang tegas pasti tahu tugasnya.

Jika semua kompak dan tegas dimulai dari SPBU, bukan antrean panjang saja yang teratur. Oknum-oknum nakal yang mempermainkan premium akan berkurang. Begitu juga dengan yang tidak disinggung dalam diskusi kami. Pelan-pelan mereka akan tertib karena petugas SPBU hanya memberinya 3 liter untuk motor dan Rp 100 ribu untuk roda empat. Satpol PP tetap pada pekerjaannya, menindak yang berulang-ulang. Polisi menjaga kenyamanan kerja si petugas SPBU, penjual ke luar daerah dicegat oleh TNI AL dan polisi menindak yang nakal yang bikin jera dan lainnya.

Selanjutnya, Pemkot Tarakan selaku pengatur tinggal memikirkan bagaimana kebijakan selanjutnya agar tidak ada lagi penyimpangan premium orang miskin ini, segera revisi perda yang isinya bertentangan dengan yang diatasnya. Buat warga tenang dengan lapangan pekerjaan selain harus membeli premium berulang-ulang untuk dijual lagi. Dan saya rasa, Pemkot Tarakan lebih hebat memikirkan langkah selanjutnya yang bisa membuat warga tenang dalam keteraturan.

Bisa juga alihkan perhatian warga menuju kendaraan berenergi listrik sebagai pemikiran jangka panjang yang bisa diperpendek jangka waktunya. Dan  jika di Tarakan sudah ada energi berbahan gas, kenapa tidak segera dikembangkan dan beberapa alternatif lainnya.

Setelah SPBU kondusif, jangan sekalipun sebut Tarakan sedang krisis BBM, melainkan hanya dilanda penyakit akut, yakni krisis kekompakan dan ketegasan.


Salam 



PENULIS ARTIKEL :
Salah satu wartawan Kota Tarakan, Kalimantan Timur.





.......... BLOG ANCI 9381 ............

0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails