Sejarawan menuturkan salah satu sebabnya adalah ucapan "Gong Xi Fa Cai" saat Imlek.
Sejarawan JJ Rizal menilai salah satu sebab kesenjangan sosial juga diakibatkan dari perubahan budaya etnis Tionghoa di Indonesia. Rizal menilai, salah satu contohnya adalah ucapan "Gong Xi Fa Cai" saat perayaan Imlek atau Tahun Baru Cina.
Rizal kemudian menceritakan, dahulu etnis Tionghoa merayakan Imlek untuk menyambut musim semi. Mereka saling mengucapkan "Xin Chun Gong Xi" yang artinya "Selamat merayakan musim semi baru". Namun, saat ini diubah menjadi "Gong Xi Fa Cai" yang artinya "Selamat dan cepatlah menjadi kaya".
"Nah, inilah yang membuat orang keturunan Tionghoa identik dengan makhluk ekonomi semakin jelas. Karena 'Selamat menjadi kaya raya'," kata Rizal dalam diskusi "Polemik" Radio Sindo, di Jakarta, Sabtu, 21 Januari 2012.
Menurut Rizal, ini menyebabkan prasangka-prasangka di masa lalu terhadap etnis Tionghoa kembali dirasakan. "Mereka kerap mendapat tindakan dan perlakuan rasisme, serta kambing hitam dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di masyarakat," ucap Rizal.
Tapi, menurut perwakilan Komunitas Glodok Hermawi Taslim, banyak etnis Tionghoa yang memilih profesi sebagai pedagang karena takut berpolitik. "Karena itu tidak ada pilihan lain. Berdagang kan tidak ada aturannya," ucap Hermawi.
Senada dengan Hermawi Taslim, Ketua Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa Ester Yusuf mengatakan, ada trauma besar yang dialami etnis Tionghoa dalam berpolitik. Karena banyak etnis Tionghoa yang ikut berpolitik, kemudian hilang.
Apalagi, saat itu China merupakan negara berpaham komunisme, yang juga dinilai menjadi kiblat politik Partai Komunis Indonesia. "Orang-orang yang dekat dengan PKI itu habis, itu seperti peringatan kepada mereka untuk berpolitik di masa depan. Sampai saat ini, banyak orang tua yang melarang anaknya masuk politik," kata dia.
JJ Rizal kemudian menambahkan, banyak etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang, karena pemerintah kolonial Belanda memposisikan etnis Tionghoa sebagai perantara. "Posisinya memang dibuat seperti itu, mereka disebut hantu uang," ujar Rizal.
Kemudian saat perekonomian etnis Tionghoa mulai meluas dan berkembang, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa pada tahun 1740. Pembantaian itulah, kata Rizal salah satu penyebab etnis Tionghoa takut untuk berpolitik. Selain itu, kata dia adanya Undang-Undang serta saat itu etnis Tionghoa diposisikan sebagai sapi perah.
"Saat itu pemerintah harus menggaji PNS, dari mana uang itu? Mereka memeras orang keturunan Tionghoa. Mesin ekonominya itu yang akan dicari, yaitu masyarakat minoritas yang menjadi perantara itu," kata dia.
SUMBER :
.......... BLOG ANCI 9381 ............
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar