Catatan Sejarah Utara Kaltim saat Zaman Hindia Belanda
DI tengah perundingan Indonesia-Malaysia di Kinabalu, sebuah catatan sejarah wilayah utara Kalimantan Timur diungkapkan oleh Agus Suprapto, pemerhati sejarah yang sekaligus Direktur Center For Indonesia Development Frontier (Cidef) Sebatik Kaltim, lembaga Inisiator pembangunan untuk ketahanan sosial ekonomi di perbatasan Kaltara.
Data-data sejarah tersebut didapatnya dari kumpulan surat-surat pejabat keresidenan di Kalimantan saat itu dan sejumlah sumber dari Kesultanan Kutai Kartanegara. Berikut catatannya.
Sejak abad ke-17 kongsi dagang Hindia Belanda VOC mulai memperluas wilayah jajahan ke Borneo Timur atau Kalimantan Timur. Pada tahun 1635 Garit Thomasen Pool untuk pertama kalinya diutus Pemerintah Hindia Belanda berkunjung ke Kaltim melakukan kontak dagang dengan Sultan Aji Sinum Panji Ing Medapa dari Kerajaan Kutai Kartanegara, tetapi usaha ini tidak berhasil.
Pada tahun 1671 Belanda mengutus lagi Paoelos De Bock dengan Kapal Chiolop de Noorman melakukan perluasan wilayah jajahan ke Kalimantan Timur. Mereka melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong hasilnya juga kurang memuaskan. Selanjutnya, pada tahun 1672 Frans Heys dengan tiga kapal dagang bertemu Sultan Kutai Kartanegara Aji Pangeran Dipati Agung Ing Martapura di Tenggarong.
Tujuannya untuk membicarakan kontak dagang. Karena hasilnya kurang memuaskan mereka meneruskan perjalanan ke pesisir Timur Pantai Kalimantan hingga Kalimantan Utara yang sekarang menjadi negara bagian Sabah Malaysia Timur.
Di suatu tempat kawasan pantai yang disebut Tanjung Tinagat (kini menjadi Kota Tawau, Sabah Malaysia Timur), Belanda membuka perkampungan baru. Di sini mereka mendirikan perwakilan dagang sebagai bagian dari wilayah jajahan mereka. Pada sebuah batu yang menjorok ke laut diukir lambang VOC yang secara jelas bisa dilihat dari lepas Pantai sebagai bukti bahwa Tanjung Tinagat adalah merupakan Wilayah jajahan Hindia Belanda.
Di bagian lain, Inggris juga memperluas wilayah jajahan di Kalimantan dengan menguasai Serawak, Brunei dan Sabah. Inggris juga bermaksud memperluas wilayah jajahannya hingga Tanjung Tinagat yang telah dikuasai Belanda. Tetapi Inggis tidak berhasil. Melaksanakan maksud itu, karena mereka terikat perjanjian bahwa sesama Bangsa Eropa tidak boleh saling merebut wilayah jajahan yang sudah dikuasai.
Akan tetapi keinginan Inggris tidak berhenti sampai di situ. Dengan sengaja Inggris membuat kekacauan di Tanjung Tinagat. Suku Heban dan suku suku lain diadu domba bahwa “mengayau” atau memenggal kepala musuh diperbolehkan dengan alasan adat. Maka terjadilah kekacauan.
Di muara Sungai Tawau dirintangi berbagai pohon yang sengaja ditumbangkan. Kapal-Kapal dagang Belanda dan kapal asing dirampok, awak kapalnya dibunuh. Kantor maskapai VOC diserang dan dibakar. Batu cadas yang bertuliskan lambang VOC di ujung tanjung dihancurkan oleh agen Inggris untuk menghilangkan bukti tapal batas wilayah jajahan Belanda.
Meluasnya kekacauan di Tawau membuat Belanda kewalahan. Akhirnya mereka mengungsi ke sebuah desa yang kini disebut Desa Pembeliangan, (Sekarang di Kabupaten Nunukan). Di sini Belanda berkirim surat kepada Raja Bulungan Sultan Kaharuddin minta untuk dijemput.
Sesampai di Tanjung Palas ibu kota Kerajaan Bulungan, Sultan mengajukan penawaran kepada orang-orang Belanda apakah akan pulang ke negeri Belanda atau tetap ingin tinggal di Bulungan. Ternyata mereka memilih untuk tetap tinggal di Kerajaan Bulungan. Oleh Sultan Kaharuddin, orang-orang Belanda ini diberi tempat tinggal berupa tanah seribu depa di seberang Sungai Kayan. Tempat orang-orang Belanda ini sekarang menjadi Kota Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan.
Konvensi London 1891
Pada tahun 1890 Negeri Belanda diduduki tentara Napoleon Bonaparte dari Prancis. Ratu Belanda mengungsi ke London minta perlindungan Raja Inggris. Kesempatan ini digunakan Inggris untuk merebut Tanjung Tinagat yang sudah lama diincarnya. Inggris minta kepada Ratu Belanda untuk menyerahkan pengawasan Tanjung Tinagat. Ratu Belanda menyetujui, kemudian Inggris mengerahkan tentaranya ke Tanjung Tinagat untuk meredam kerusuhan.
Setahun kemudian, Inggris berhasil membujuk Belanda kemeja perundingan untuk membicarakan tapal batas baru antara wilayah jajahan Belanda dan Inggris. Secara terang-terangan Inggris meminta Belanda untuk melepaskan Tanjung Tinagat. Permintaan ini ditolak, tetapi Inggris terus menekan dengan alasan Belanda tidak sanggup mengamankan Tanjung Tinagat. Karena Ratu Belanda dalam keadaan terjepit dan lemah akibat negaranya diduduki Prancis, akhirnya Belanda mengabulkan permintaan Inggris. Lahirlah Konvensi London 1891 yang intinya menetapkan tapal batas baru antara wilayah jajahan Belanda dengan jajahan Inggris di Pulau Kalimantan.
Bedasar kesepakatan baru itu, tapal batas antara wilayah jajahan Belanda dan Inggris ditetapkan pada koordinat 4 derajat 10 menit LU. Dimulai dari puncak Gunung Jagatumu (sekarang di Kabupaten Nunukan) ditarik lurus secara horizontal ke arah Timur membelah Pulau Sebatik, terus melewati Utara Pulau Sipadan-Ligitan, hingga Laut Utara Sulawesi.
Jika titik tapal batas baru ini dijadikan referensi batas antara Malaysia dan Indonesia, maka Pulau Sipadan-Ligitan berada beberapa detik di sebelah Selatan tapal batas. Artinya secara de Fakto dan de Yure kedua pulau itu menjadi bagian wilayah jajahan Belanda atau wilayah negara Indonesia. Karena berdasar ketentuan Internasional sesudah Perang Dunia II bekas jajahan Belanda menjadi wilayah Indonesia, sedangkan bekas jajahan Inggris menjadi wilayah Malaysia.(*/tom)
SUMBER KUTIPAN : KALTIMPOST.CO.ID - TANGGAL 07 SEPTEMBER 2010
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar