Rusuh yang meledak di Tarakan, Kalimantan Timur, mesti menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah, terutama pemerintah daerah. Kesenjangan antara penduduk pendatang dan penduduk asli harus segera diatasi. Bila kesenjangan sosial, budaya, dan ekonomi telanjur menganga, masalah yang kelihatannya sepele saja bisa memicu konflik besar.
Begitulah yang terjadi di Tarakan baru-baru ini. Kerusuhan meletup tak lama setelah muncul perkelahian antara pemuda Bugis dan suku Tidung--penduduk asli Tarakan. Para sesepuh Tidung kemudian melancarkan perang terhadap orang-orang Bugis. Huru-hara yang berlangsung selama beberapa hari ini menyebabkan korban tewas dan terluka berjatuhan. Kota Tarakan sempat lumpuh. Pasar, toko-toko, dan sekolah tutup. Sekitar 4.000 warga mengungsi ke kantor polisi, markas tentara, dan rumah sakit karena ketakutan.
Kerusuhan itu baru bisa diredakan setelah para tokoh dari dua kelompok yang bertikai sepakat menyetop permusuhan. Mereka meneken 10 butir kesepakatan, yang antara lain menyatakan bahwa menganggap segala kejadian itu murni tindak pidana dan menyerahkan penyelesaiannya kepada kepolisian. Secara berangsur-angsur, mulai kemarin penduduk yang mengungsi telah kembali ke rumah dan beraktivitas seperti biasa.
Mempertemukan para tokoh dari kedua belah pihak memang merupakan resep jitu untuk menghentikan konflik. Cara ini pulalah yang dulu dilakukan dalam meredam kerusuhan Ambon, Sanggauledo, dan Sampit. Semakin sering para tokoh setempat bertemu akan semakin mencairkan ketegangan. Tahap berikutnya tentu saja menyelesaikan konflik lewat penegakan hukum yang tegas, adil, dan tanpa mengundang pertikaian susulan.
Hanya, untuk menuntaskan akar persoalan di balik kerusuhan itu, pemerintah masih perlu bekerja keras. Pemerintah daerah harus menghentikan proses marginalisasi secara sosial, ekonomi, dan politik yang dialami oleh orang-orang Tidung di Tarakan. Mereka semakin tersisih bukan hanya karena jumlahnya yang semakin sedikit, melainkan juga lantaran minimnya keterlibatan mereka dalam penyelenggaraan pemerintahan dan aktivitas bisnis.
Kini jumlah suku Tidung hanya sekitar 10 persen dari seluruh warga Tarakan. Sejak zaman penjajahan Belanda, mereka terdesak oleh para pendatang, yang umumnya berasal dari Jawa dan Bugis. Proses marginalisasi ini berlangsung hingga sekarang. Fenomena ini juga menunjukkan tak adanya kemauan sungguh-sungguh pemerintah, terutama pemerintah daerah, membantu mereka agar tidak terlalu tertinggal dari masyarakat pendatang.
Itulah pentingnya Pemerintah Kota Tarakan menengok kembali nasib orang-orang Tidung. Tak cukup hanya dengan cara melestarikan seni-budaya suku ini, pemerintah daerah juga harus memberikan kesempatan yang lebih luas bagi mereka untuk mendapat pendidikan dan kehidupan yang lebih baik. Hak mereka mendapat persamaan di depan hukum dan pemerintahan pun wajib diperhatikan.
Hanya dengan cara seperti itu kesenjangan sosial bisa dikurangi, dan konflik sosial bisa dicegah.
SUMBER KUTIPAN (kecuali gambar ilustrasi diatas) :
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar